JAKARTA- Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan, maraknya pesan singkat yang bertujuan menyedot pulsa menandakan lemahnya pemerintah dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dalam melindungi konsumen seluler.
Dengan berbagai kasus yang terjadi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, kata Tulus, selama ini lebih banyak memperhatikan kepentingan operator seluler, bukan konsumen seluler. "Harusnya ini kan tugas utama BRTI, selain memperhatikan kepentingan operator juga memperhatikan kepentingan konsumen," kata dia, kemarin.
Menurut Tulus, sebagai regulator, fungsi utama BRTI tidak berjalan. Padahal BRTI mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang mutlak untuk mengatur masalah ini. "BRTI dibuat untuk meregulasi perilaku operator dan meregulasi perlindungan terhadap konsumen seluler sebagaimana diatur di dalam UU Konsumen dan UU Komunikasi. Sebagai regulator dia apa kerjanya, sehingga kasus demi kasus yang sekarang sistemik menimpa konsumen dan dibiarkan saja," tegasnya.
Dikatakannya, jika BRTI kreatif, sebenarnya SMS yang sekarang marak penipuan atau kredit tanpa agunan bisa dikategorikan sampah atau spam sehingga secara otomatis tertolak dengan sendirinya. "Kalau di luar begeri itu ada yang namanya 'jam' untuk menolak SMS yang tidak dikehendaki konsumen kemudian dianggap sampah, atau kalau di email itu namanya Spam. Itu bisa dilakukan oleh BRTI, tapi kenapa BRTI tidak melakukan itu," ungkapnya.
Di tahun 2011 ini, YLKI mendapat ratusan pengaduan tentang kasus SMS penipuan. "Seharusnya dibuat regulasi bagaimana agar konsumen pulsanya tidak termakan oleh pihak content provider yang berbuat semena-mena itu. Itu hal gampang, hal teknis. Apalagi sekarang banyak orang miskin yang memakai seluler. Jadi ini adalah proses pemiskinan melalui pemotongan pulsa oleh operator seluler atau pihak yang bekerja sama dengan operator seluler," kata dia.
Menurut Tulus, di sini peran Kominfo tidak mempunyai kemauan untuk melindungi konsumennya. "Kominfo tidak punya 'gereget' untuk melindungi konsumen seluler, tidak punya kemauan, dan BRTI tidak bisa menjalankan perintah Kominfo," tegasnya.
Kominfo harus mengelaborasi apakah ini perilaku operator langsung, atau content provider, atau perilaku content provider yang dibiarkan operator karena sama-sama mendapat keuntungan. "Sekarang modusnya semakin kreatif, termasuk dari mana dia mendapat nomor telepon kita. Itu ada kontribusi dari pihak penjual pulsa," ungkapnya. Tulus berharap konsumen harus mulai kritis bahwa hal-hal privasi tidak mudah dibuka.
Source : Malang Post
Dengan berbagai kasus yang terjadi, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, kata Tulus, selama ini lebih banyak memperhatikan kepentingan operator seluler, bukan konsumen seluler. "Harusnya ini kan tugas utama BRTI, selain memperhatikan kepentingan operator juga memperhatikan kepentingan konsumen," kata dia, kemarin.
Menurut Tulus, sebagai regulator, fungsi utama BRTI tidak berjalan. Padahal BRTI mempunyai kewenangan dan tanggung jawab yang mutlak untuk mengatur masalah ini. "BRTI dibuat untuk meregulasi perilaku operator dan meregulasi perlindungan terhadap konsumen seluler sebagaimana diatur di dalam UU Konsumen dan UU Komunikasi. Sebagai regulator dia apa kerjanya, sehingga kasus demi kasus yang sekarang sistemik menimpa konsumen dan dibiarkan saja," tegasnya.
Dikatakannya, jika BRTI kreatif, sebenarnya SMS yang sekarang marak penipuan atau kredit tanpa agunan bisa dikategorikan sampah atau spam sehingga secara otomatis tertolak dengan sendirinya. "Kalau di luar begeri itu ada yang namanya 'jam' untuk menolak SMS yang tidak dikehendaki konsumen kemudian dianggap sampah, atau kalau di email itu namanya Spam. Itu bisa dilakukan oleh BRTI, tapi kenapa BRTI tidak melakukan itu," ungkapnya.
Di tahun 2011 ini, YLKI mendapat ratusan pengaduan tentang kasus SMS penipuan. "Seharusnya dibuat regulasi bagaimana agar konsumen pulsanya tidak termakan oleh pihak content provider yang berbuat semena-mena itu. Itu hal gampang, hal teknis. Apalagi sekarang banyak orang miskin yang memakai seluler. Jadi ini adalah proses pemiskinan melalui pemotongan pulsa oleh operator seluler atau pihak yang bekerja sama dengan operator seluler," kata dia.
Menurut Tulus, di sini peran Kominfo tidak mempunyai kemauan untuk melindungi konsumennya. "Kominfo tidak punya 'gereget' untuk melindungi konsumen seluler, tidak punya kemauan, dan BRTI tidak bisa menjalankan perintah Kominfo," tegasnya.
Kominfo harus mengelaborasi apakah ini perilaku operator langsung, atau content provider, atau perilaku content provider yang dibiarkan operator karena sama-sama mendapat keuntungan. "Sekarang modusnya semakin kreatif, termasuk dari mana dia mendapat nomor telepon kita. Itu ada kontribusi dari pihak penjual pulsa," ungkapnya. Tulus berharap konsumen harus mulai kritis bahwa hal-hal privasi tidak mudah dibuka.
Source : Malang Post